Jumat, 16 Desember 2011

GAMANG

Diposting oleh Camelia di Jumat, Desember 16, 2011 0 komentar
Aku hanya ingin sedikit bercerita. Sedikit saja. Maka, diamlah sejenak dan dengarkan aku bicara.
Aku gamang. Masih gamang. Ah, perasaan apa ini? Kosong. Hari-hari kulalui tanpa diriku ikut di dalamya. Lalu kemana diriku? Aku merasa tak utuh sama sekali. Tak merasa benar-benar melakukan apa yang aku lakukan. Semua mengalir begitu saja menuruti perasaan yang aku sendiri tak tahu apa namanya. Seringkali perasaan itu mengalahkan akalku. Ia menang dengan sukses tanpa perlawanan yang berarti. Hei! Kemana akalku? Kenapa ia diam saja? Bukankah ia tahu bahwa perasaan itu menjajah diriku. 
Ah, hatiku. Sama saja, ia menenggelamkan diri dalam kotak tak bernama. Sesekali menjengukku untuk sekedar memantau sejauh mana perasan itu menjajah aku. Ah, ia hanya melihat saja. Hatiku kadang menjadi penengah, namun ia pun hanya setengah-setengah. 

Tidak ada lagi yang dapat aku andalkan! Tidak akal, tidak hati, bahkan diriku sendiri. Ragaku utuh, iya! Aku masih waras, jelas! Tapi mengapa aku merasa hanya menjadi manusia setengah? Padahal aku sedah lebih dewasa kini. Umur 19 tahun tentu bukan umur yang terlalu muda untuk memahami hidup. Tapi mengapa aku justru tak bisa memahami hidupku kini? Jika dulu jalan di depanku jelas terlihat dan siap ditapaki, sekarang wujudnya kabur. Seperti hologram yang rusak atau signal yang terputus-putus. 
Akal dan hatiku tak utuh agaknya. Lalu pada siapa lagi aku minta tolong. Apapun yang kurasakan, aku tetap terlihat utuh. Orang lain tak mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Aku memang pandai berpura-pura. Lihai benar! Banar-benar tak ada yang tahu bahwa sekarang kesadaranku semakin hilang digerogoti perasaan itu, parlahan tapi pasti. 

Tidak! Bukan aku menikmati keadaan ini. Sama sekali bukan! Aku hanya tak tahu penanganan apa yang sesuai untukku. Perlukah aku bertanya pada orang lain, “Hey apa ada obat memulihkan jiwa? Jiwaku hilang setengah, nih!” atau aku harus bertanya pada dokter spesialis hati, “Dok, bisa beri saya obat pembunuh perasaan yang menggerogoti hati dan jiwa saya? Saya sedang tidak utuh, Dokter…”
Ah, kupikir tak ada solusi yang tepat. Ketika bertanya pada kakak angkatanku yang notabene lebih ‘bijaksana’, ia malah bertanya dengan nada retoris, “Setengah?” dengan sorot mata yang melambangkan bahwa ia pun tak punya saran unutk diajukan. Atau mungkin ia tak cukup respek menghadapiku, mendengar keluhanku. Mungkin menurutnya, menurut siapapun, ini bukan masalah yang terlalu penting untuk ditangani. Aku menyindir? Bukan. Bisa saja kan? Mereka terlalu sering mengurusi masalah besar. Masalah umat, kampus, dan Negara. Masalah-masalah pelik tentang ekonomi, sosial dan bisnis, semua mereka punya solusi. Tak ada ruang untuk masalahku. Bukankah biasanya orang yang terlalu sering mengurusi hal besar lupa dengan urusan kecilnya? Tak percaya? Banyak kok yang begitu. Para aktifis yang lupa mengurus dapurnya sendiri dan ibu-ibu yang lupa meneteki anaknya dengan kasih sayang.

Ya, dunia sudah berubah. Mengurus hal kecil, sudah tak terlalu bergengsi sekarang. Mengurus rumah tak ada orang yang melihat, terabaiakan. Padahal para ibu butuh eksistensi kan? Bukan salah meraka jika akhirnya bekerja lebih penting dari menemani anak di rumah. Toh, untuk anaknya juga. Setidaknya pemikiran seperti itu yang aku tahu. 

Ah, aku memang banyak bicara, banyak menasehati dan sok tahu. Banyak yang anggap aku bijaksana dan berbondong-bondong curhat padaku. Jawabanku selalu memuaskan mereka. Tapi, puaskah aku? Tidak! Sesaat mungkin aku merasa lebih pintar dan teramat hebat karena dapat menyelesaikan masalah orang. Heh, masalahku sendiri saja semakin melekat. Mana ada orang tahu kalau di dalam ‘aku’ ada yang meringis kesakitan. Mana mungkin orang tahu, yang terlihatlah yang dipercaya! Meringis kesenangan gambaran wajahku saat itu. Jadi, mereka bilang, aku bahagia.

Aku bukannya anak yang kuper dan aku tahu itu. Di setiap tempat, aku bisa dapat teman dengan mudah jika aku ingin. Hanya saja keinginanku itu hanya dapat muncul kadang-kadang.

Orang bilang aku supel. Bisa berteman dengan banyak jenis orang. Berteman dengan ahlul masjid bisa. Dengan anak band berbagai aliran dan pencinta alam, masuk. Dengan komunitas comic lover, movie holic, bahkan komunitas kutu buku dan filateli, aku bisa masuk. Bukan berarti aku hanya berteman, sekedar kenal. Tapi aku mengalir bersama mereka, menyatu. Entah mengapa aku merasa bisa menyesuaikan. Sekali lagi, supel katanya! Nyatanya, aku hanya merasa menjadi bunglon yang dapat berubah di setiap tempat dan kondisi. Berkumpul dengan orang Jakarta, logatku kebetawian. Ngobrol dengan banyak jenis logat jawa juga biasa aku lakukan, tergantung dengan siapa aku bicara. 

Benarkah aku tidak menjadi diri sendiri? Lalu seperti apa diriku sebenarnya? Apa aku gadis kalem? Pendiam? Atau gadis urakan dan usil? Atau aku gadis serius berkacamata, dengan rambut kepang dua? Terlalu banyak bermain peran agaknya.

Yang aku tahu, aku adalah gadis dengan lubang kegamangan yang selalu dibawanya kemanapun pergi. Mungkin aku harus berpikir begini. “Ya.. beginilah aku, berubah karakter menyesuaikan tempat. Seperti bunglon. Kau tahu bunglon? Yang terbaik adalah menjadi diri sendiri kan? Baik, inilah diriku.. dan aku akan tetap begini.” Begitukah? Bukankah itu sama saja dengan orang yang berpikir mudah marah, itulah aku, maka aku akan menjadi diriku yang begitu, tanpa harus merubah sifatku, karena inilah aku!
Akankah aku baik-baik saja jika berpikir demikian?

Maaf, apa kau bosan dengan ceritaku? Biarlah, walau kau bosan, akan tetap aku teruskan. 
Aku orang yang mudah merasa cukup. Merasa puas hanya dengan pujian. Dapat tersenyum karena orang berkata “Kamu baik”. Dan akhirnya apa yang aku lakukan akan menyesuaikan orang yang ada didekatku. Menyesuaikan dan mengira-ira perilaku apa yang akan membuatnya mengataiku “baik”. Ahahaha… dia kana tipu! Nyatanya aku hanya aktris di teater badut. 

Di suatu siang, ketika semua asik berbincang, aku datang dan menambah ramai suasana. Saat itu aku sedang sakit-sakitnya. Entah mengapa lubang kegamangan ini serasa melebar. Menyesuaikan tawaku agaknya. Semakin lebar tawa, semakin lebarlah lubang. Ketika sedang rasa sakit-sakitnya, dan tawa lepas selebr-lebarnya, sekonyong-konyong terdengar suara.

“Gadis, kamu tuh nggak pernah sedih ya? Kayaknya nggak pernah punya masalah, deh!”
“Ah, masa? Iya kali, ya?” aku berseloroh. Ah, bodohnya dia! Mana ada orang hidup tanpa masalah? Orang gila saja punya masalah. 

Akh, buang-buang waktu saja ternyata mengurusi masalah ini. Biarlah saja, mungkin bagian dari takdirku untuk menjadi bunglon, di abaikan hati dan punya lubang kegamangan. Ya, anggap saja begitu. Toh, tak ada yang ambil pusing dengan hal itu. Mau aku masih berlubang atau tidak, tidak ada yang tahu. Ya kan?

0 komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi! Silahkan, bekomentar dengan sopan! :D

 

Bunga Rumput Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei