Sabtu, 01 Februari 2014

Ketika Ambisi Itu Disebut Ramen

Diposting oleh Camelia di Sabtu, Februari 01, 2014 0 komentar
Warning: this post is so long and contain of 'curhat colongan' from the author. So, leave immediately if you think you'll waste your time by reading it.

Hari itu, Jumat, 31 Januari 2014. Diriku dan seorang teman berniat makan ramen. Petama, karena pengen, kedua karena sariawan (sangat susah makan nasi saat sariawan segede gaban nempel di pangkal lidah *btw, gaban itu segede apa?*//lupakan). Alhasil kami menuju tempat makan jepang yang deket dengan kosan (Sendowo), Nagoya. Tenyata ramen di sana sedang tidak tersedia. Mienya habis.

[Q = saya, P = teman]
Q: gimana, nih?
P: lha gimana?
Q: nggak jadi aja?
P: ya udah, yuk?

Akhirnya kami beranjak. Demi dapet ramen, kami rela jau ber-motor menuju Sushi story di daerah Seturan. Kenapa kesana? Karena ramennya enak dan relatif terjangkau. Sebenarnya ada yang lebih dekat lagi, yaitu Nikkou ramen, hanya saja rasanya masih kalah. Jadi, memilih kualitas, kami rela menempuh perjalanan lebih jauh dengan kondisi panas dan belum mandi.

Sesampainya di Sushi Story, disambut AC yang adem banget. Rasanya worth it! Setelah milih tempat duduk, menuliskan pesanan, menuju kasir (bayar di muka), dan..
"Ramennya kosong, mbak", sejenak aku pengen lemeees. Pandang-pandangan dengan temanku, dan..
"Maaf, mbak nggak jadi."
kami pun pergi.

Q: Kemana nih?
P: dimana lagi yang ada ramen
Q: pilihannya Nikkou atau Kay ramen yang deket sushi kakilima. Enak Kay ramen, tapi kayaknya jam segini belum buka. Mau nyoba?
P: boleh.
Q: Abis ini kita ke Sagan (lokasi Kay Ramen), kalau nggak ada kita ke Nikkou, gimana?
P: Oke.

dan kami menghela motor ke Sagan -dan masih panas- disambut jalanan Sagan yang aduhai ramainya.
Setibanya di perempatan Galeria, mulutku musti tersenyum kecut. Gimana lagi? belum mandi. Sesuai dugaan, masih tutup. Mau nggak mau, kami memutar kendaraan dan menuju Nikkou ramen di jalan Monjali (Am Sangaji).

Di lampu merah aku berpikir, bagaimana jika nanti Nikkou ramen tutup atau ramennya habis?
Dalam perjalanan aku berpikir, kalau di Nikkou habis juga, atau malah tutup, mungkin aku bakal beli mie ayam. Lalu aku berpikir lagi, ramen tadi tak ubahnya seperti ambisi, mimpi. Aku pengen makan ramen. Walau sederhana, ia merupakan ambisi juga. Perlu perjuangan untuk mendapatkannya. Tak terpikir berapa banyak bensin yang habis untuk malang-melintang mencari ramen, kulit yang jadi kering karena kepanasan, dan perut yang semakin keroncongan karena belum makan dari pagi. Jika ambisi itu tak begitu kuat, bisa jadi aku sudah selesai makan takoyaki di Nagoya atau sushi di Sushi Story.

Jika benar akhirnya Nikkou tutup atau kehabisan ramen, maka aku akan benar-benar makan mie ayam. Jika benar mengejar ambisi berkali-kali dan tetap belum tercapai, mungkin perlu bagi kita untuk menilik lagi, sebenarnya apa tujuan kita berambisi demikian? Apakah hanya karena nafsu? Sebenarnya pun tak salah jika kita berambisi hanya karena ingin. Karena kadang kata 'ingin' yang kita lontarkan, bisa jadi merupakan akumulasi alasan-alasan yang membuat kita menginginkan sesuatu, namun tak dapat terucap. Terkadang nalar kita bisa bekerja lebih cepat daripada logika dan membentuk kata 'ingin'.

Namun, jika memang kita merasa tak perlu lagi memaksakan ambisi, makan mie ayam bukan merupakan jalan keluar yang buruk. Bahkan bisa dibilang bijaksana. Karena kita kembali bertanya. Sebenarnya apa motif kami rela mencari ramen dari tadi? Jawabannya karena lapar. Jadi, ketika kita belum mampu -setelah segala upaya- mewujudkan ambisi kita, kita perlu setidaknya memenuhi hal dasar yang menjadi kebutuhan kita. Contoh realnya, ketika dengan segala upaya saya belum bisa dapat beasiswa ke luar negeri, ada baiknya saya mencari beasiswa di salam negeri. Karena motif mencari beasiswa adalah untuk melanjutkan studi. Hal seperti ini bukan berarti putus asa, kita hanya menyesuaikan dengan kondisi, dan kembali mengingatkan diri kita tentang tujuan awal.

Berhenti sejenak, melupakan sementara ambisi kita, dan mengingat tujuan awal, bisa menjadi hal yang penting untuk meraih mimpi. Ia tak sia-sia. Karena bisa jadi nantinya kita bisa mendapatkan jalan lain untuk memenuhi ambisi tersebut. Sama seperti, tak apa makan mie ayam dulu, untuk memenuhi perut keroncongan. Makan ramen bisa ditunda nanti malam atau besok. See? sebenarnya tidak merugikan kita.

Jadi begitulah sedikit analisis sok tahu saya pas di lampu merah.
Bagaimana akhirnya?
Akhirnya saya bisa makan ramen karena Nikkou masih buka, :D berarti ambisi saya terpenuhi. Tapi sebelumnya, saya benar-benar sudah siap makan mie ayam seandainya Nikkou tutup. Saya lagi beruntung.
Okay, selamat berakhir pekan!


Selamat membaca dan Happy blogging! \(^0^)/

0 komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi! Silahkan, bekomentar dengan sopan! :D

 

Bunga Rumput Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei