Sabtu, 22 Februari 2014

Sembilu

Diposting oleh Camelia di Sabtu, Februari 22, 2014 7 komentar
Alisra tak bisa berhenti berair mata. Semakin ia sadar, semakin deras air itu mengalir. Matanya semakin memerah. 
"Aku gemetaran. Aku kedinginan." Ucapnya di telepon. Dia bertelepon dengan lautan. Dengan suara di seberang lautan. Hanya ada sunyi yang menjawabnya. Yang terdengar hanya isak tangis. Isak tangis miliknya sendiri.
"Maukah kau mendengarku menangis?" Tanyanya lagi. Tangisnya semakin kencang.
"....."
“Hey, maukah kau dengar aku menangis?” Isak Alisra semakin menjadi.
"Iya, aku mendengarmu." Jawab sebuah suara di seberang lautan.
Lalu sunyi kembali.
"Aku tak pernah tahu akan sesakit ini. Aku tak pernah tahu. Selama ini sungguh yang aku lakukan sia-sia. Rasanya aku begitu dungu. Aku tak pernah menangis seperti ini. Aku telah alpa. Aku menggantungkan harapanku pada manusia." Suara Alisra bergetar.
"Tidak ada yang sia-sia, Alisra. Semua adalah bahan belajar. Ingatkah kau saat kau berkata padaku bahwa kau ingin merasakannya? Merasakan jatuh dan patah?" Suara di seberang lautan terdengar jumawa.
Isak Alisra semakin deras. Bahunya berguncang. Kuku jarinya nampak pucat. Ia kembali menggigil.
“Kau benar. Aku tak seharusnya bermain-main dengan kataku. Bukankah kata itu doa?” Alisra mendakwa dirinya.
“.....”
“Aku hanya tak tahu akan sebegini sakit. Rasanya sakit.” Alisra terbata. Sesekali ia mengusap matanya.
"Alisra, kau hanya sedang terkejut. Kau belum pernah merasakannya. Itu wajar." Jawab Suara di seberang lautan sambil tersenyum. Suara senyum.
Alisra berkata, "Aku salah. Motivasiku salah. Seharusnya aku tak melakukan ini pada diriku. Aku malu." Lalu sambungnya, "Seharusnya aku tahu siapa yang seharusnya aku cinta. Aku merasa bodoh. Betapa menyedihkan aku menangis karena roman picisan."
“Kau tahu?” Kata Alisra kemudian. “Aku merasa seperti pemain drama. Hahaha...pemain drama roman sedih. Pun setelah ini, aku akan banyak bersandiwara.” Sambungnya sambil tertawa. Ironi.
“Hanya saja, sandiwara yang akan kumainkan nanti akan menyakitkan sekali.” Roman wajahnya kembali muram.
"Alisra, kapan kau akan sadar bahwa pelajaran inipun bukti cintaNya? Mungkin Ia menunjukkan padamu bahwa yang kau cinta itu bukan jodoh yang tepat. Bukan seseorang yang diinginkanNya menjadi jodohmu." Suara di seberang lautan terdengar tegas, menyejukkan.
"Seperti kataku, kau hanya laiknya anak kecil yang terjatuh. Ia akan menangis pada awalnya, karena sebelumnya ia tak pernah merasakan sakit itu. Namun, ia belajar. Jika nanti ia terjatuh kembali, ia tak akan menciptakan tangis yang sama. Ia belajar. Belajar untuk sakit. Begitulah juga kau. Kau hanya terkejut." Lama-lama seperti mantera, suara di seberang lautan terus berdesir.
"Tapi sakit. Rasanya dingin." Tangis Alisra mereda, diganti isak putus-putus. Badannya bergetar.
"Tentu saja sakit. Kau sudah jatuh, patah pula."
“.....”
 Suara di seberang lautan kembali bertanya,
"Namun apakah jatuhnya seorang anak kecil membuatnya takut berjalan?"
Alisra terhenyak. Ia menyadari jawaban 'tidak' atas pertanyaan itu. Suara di seberang lautan sadar bahwa Alisra telah paham.
“Alisra... ” Suara di seberang lautan mengurungkan katanya.
“.....”  
Alisra berpikir. Suara di seberang lautan memberinya waktu.
Gesekan daun beringin terdengar gemerisik. Angin bertiup lebih kencang dari kemarin. Suara jangkrik semakin menjadi. Agaknya merekapun tak tahan dengan sunyi. Mereka menunggu sunyi menjadi bunyi.
Alisra bergeming. Dihelanya napas dalam-dalam.
“Kau kembali menghela, Alisra. Tidakkah kau hitung berapa banyak kau menghela?” Suara di seberang lautan memecah sunyi.
“Kau menghitungnya?” Sunyi Alisra terbelah.
“Tentu saja tidak. Kau tak memberiku imbalan setimpal untuk itu.” Suara di seberang lautan bermaksud mencandai.
“Baiklah, sepertinya kau sedang lupa cara bercanda saat ini. Aku tak memaksa.” Suara di seberang lautan berkata cepat.
“Tapi aku yakin kau akan baik-baik saja.” Suara di seberang lautan menegaskan.
“.....”
 Alisra masih berpikir. Menafsirkan rasa. Suara di seberang lautan kembali memberinya waktu.
“Aku tak tahu bagaimana harus bersikap setelah ini. Membayangkan diriku menatap mereka bersanding, sepertinya akan lebih sakit.” Alisra sedikit meratap.
Dengan sabar Suara di seberang lautan berkata, “Alisra, dengarkan aku. Kau akan baik-baik saja. Jadi, teruslah engkau berjalan. Namun janganlah berjalan terlalu cepat. Dengan begitu kau tak akan terjatuh dengan cara yang sama. Tak selamanya jatuh itu sakit. Maka berdoalah banyak-banyak agar kau bisa merasakan jatuh tanpa harus merasa sakit." Lagi-lagi, suara di seberang lautan terdengar bersenyum.
Suara hangat terasa menyelimuti. Air mata Alisra sudah hilang sama sekali. Ia hanya masih menghela napas. Menenangkan hati.
"Akupun paham, kau telah sadar, Alisra. Sehingga kau tahu bagaimana harus menjalani hidup setelah ini. Aku layangkan doa untukmu banyak-banyak. Agar ketika kau diberi jatuh lagi olehNya, kau telah siap, kau tak akan patah. Kau jatuh tanpa sakit. Hingga ketika kau berdiri, aku masih bisa melihat senyummu." Suara di seberang lautan memandang arif.
"Hingga tiba seseorang yang Tuhan utuskan untuk menjadi imammu, menjadi Ia Yang Meraih Tanganmu ketika kau jatuh tanpa sakit. Ia yang merapihkan rambut di balik jilbabmu.” Suara di seberang lautan memberi jarak pada katanya.
“Aku ingin kau mengamini doaku, Alisra." Suara di seberang lautan menggema.
Lalu, satu helaan napas, dan Alisra tersenyum. Tersenyum untuk segala jatuhnya, tersenyum untuk segala patahnya, tersenyum atas doa untuknya, dan tersenyum karena ia masih memiliki Suara di seberang lautan yang sudi merengkuhnya. Ia mengucap terimakasih dalam hati.
Telepon ditutupnya.
Suara jangkrik di peraduan menemani terkembangnya senyum Alisra.
Hatinya masih serupa lukisan yang terkoyak. Namun ia tetap tersenyum.
Senyum kelegaan.
Senyum Alisra semakin lebar.

======================================================

Ia meletakkan gagang telepon. Tampak senyum tertahan di bibirnya. Matanya, tak hanya memancarkan kelegaan, namun juga penyesalan. Menyesal karena merasa bahagia. Merasa bahwa bahagianya tidak seharusnya ia tampakkan.
Pantaskah aku merasa senang ketika ia begitu berduka? Ia bertanya pada dirinya.
Namun sungguh, ia tak dapat menyimpannya. Terbungkus rasa bersalah karena bahagia di atas derita orang lain, ia bersuka cita. Maka hanya matanya yang tersenyum, bibirnya tidak.  Hatinya masih merasa sungkan.
Ia mencatat sesuatu pada buku kusam yang selalu dibawanya. Dengan mata tetap tersenyum, ia menuliskan,
“Ternyata Tuhan masih memberiku kesempatan, lewat patah hatimu, lewat air matamu. Hingga aku bisa memelukmu dengan suaraku. Maafkan aku karena bahagia atas sedihmu, Alisra. Tuhan yang memberikan petunjuk padaku lewat dering telepon darimu, di pagi buta. Tuhan memintaku merengkuhmu. Memelukmu. Izinkan aku mencobanya. Membantumu jatuh tanpa harus patah. Terimakasih atas sedihmu.”
Ia menutup buku itu dengan senyuman. Kini tak hanya dalam matanya, namun juga bibirnya. Senyum dari sebuah bibir, sepasang mata, dan satu hati di seberang lautan.
Dan angin pun berdesir.

Yogyakarta, 22 Februari 2014



Selamat membaca dan Happy blogging! \(^0^)/

7 komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi! Silahkan, bekomentar dengan sopan! :D

Ternyata Saya Masih Ekstrovert

Diposting oleh Camelia di Sabtu, Februari 22, 2014 1 komentar
Baru saja aku buat postingan ttg diriku sebagai Ambivert, ternyata itu tidak sepenuhnya benar! XD
Aku sebutkan di postingan sebelumnya, bahwa dlm tes singkat, aku Ambivert. Namun setelah ambil tes yang lebih valid *maybe*, jawaban yang aku dapat adalah:

"You’re an Extrovert with some Ambivert functions."

Yeeey! Keinginanku terkabul, ternyata aku memang ekstrovert, pantas aku kurang puas dg jawaban ambivert. Hanya saja, aku punya kecenderungan ambivert, :3
Aku ambil test di sini: http://lonerwolf.com/introvert-or-extrovert-test/
Hasilnya: 
You have reached 71 of 100 points, (71%)
Introvert or Extrovert: Test Yourself With Our Personality Quiz

If you score was between:
0 – 20 points  : You’re predominantly an Introvert.
20 – 40 points : You’re an Introvert with some Ambivert functions.
40 – 60 points : You’re an Ambivert.
60 – 80 points : You’re an Extrovert with some Ambivert functions.
80 – 100 points : You’re predominantly an Extrovert.
Jadi, bisa dibilang, sy ini:
Ambivert dg dominan ekstrovert atau spt yg dibilang td, ekstovert dg tanda2 ambivert. :D
Alhamdulillah~

Selamat membaca dan Happy blogging! \(^0^)/

1 komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi! Silahkan, bekomentar dengan sopan! :D

 

Bunga Rumput Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei