Aku duduk sendiri di kantin sambil membaca serial One Piece no 25. Entah
sudah berapa kali aku mengulang baca komik-komik One Piece-ku yang Cuma 25
buah.
“Suaramu tadi lumayan juga, Ris!” teriak Dita sambil menghampiri dan merangkulku.
“Aish.. bilang aja mau ngejek. Ga usah basa basi, lagi!” cibirku.
“Makanya, jangan telat lagi, lagian ngapain juga kamu nongol? Biasanya
kalo telat kamu bolos, kan? Tapi serius, suara kamu nggak malu-maluin kok. Jadi
pengen denger lagi.”
“makasih deh, pujiannya… berarti besok gue telat lagi aja, ya?”
timpalku bercanda. Atau bakal beneran? (jangan lagi deh!)
“Hahaha, iya! Ide bagus, tuh!” Yuri ketawa ngakak.
“Sip, sip.. gue tunggu deh pokoknya penampilan selanjutnya.”
Seorang pria lewat di depan kami. Stylenya asik banget! Rambut
gondrong sampai tengah leher, hampir menyentuh bahu, sih. Jamnya gede,
rambutnya dikuncir kayak samurai, kaosnya item pake rompi jeans. Thumb up!
Tapi kayaknya aku jarang lihat pria itu, kakak angkatan kah?
“Dita, pernah liat tu cowok nggak? Yang barusan lewat.” Tanyaku padanya.
“Yang mana? Oh.. yang dikuncir? Dia kan Kak Joko, sekelas sama kita juga tau kalau kelas Biokimia. Tapi dia kakak
angkatan, ngulang kayaknya”
“Ehh..! Masa? Kok aku nggak tau?!” sergahku kaget.
Sambil memasang muka ‘of course’ Dita bilang, “Yah… secara dia
sejenis sama kamu, tukang telat, tukang bolos! Pas dia masuk, kamu nggak masuk
kali. Emang kenapa? Jangan-jangan! Kamu tertarik padanya, ya?!”
“Yee, ngomong sembarangan! Nggak mungkin banget!“
“Halah, salting!” Yuri cengengesan
sambil memukul kepalaku pelan.
********************************
Kulihat dia kebingungan melihat bungkusan kecil berpita ada di dalam tasnya. Tentu saja! Baru ditinggal sebentar ke kamar kecil, balik-balik bungkusan itu sudah ada.
“Risma, kamu
tahu siapa yang memasukkan kotak ini di tasku?” tanyanya padaku.
“Nggak,
Kak. Mungkin emang udah ada dari tadi sebelum kamu dateng ke basecamp.
Dahinya mengernyit agak lama, lalu mengangkat kedua bahu. Lalu berpamitan
pulang. tak lama setelah itu, aku pulang juga setelah mengunci pintu
sekretariat MAPALA. Dita sudah menantiku.
********************************
********************************
47 detik lagi.
Lagi-lagi bertemu lampu merah. Seorang remaja mendatangiku meminta-minta.
Kuberikan isyarat tidak. “Ayolah, mbak.. buat makan.. lima ratus aja nggak
apa-apa, mbak..” ia merengek. Aku hanya memasang senyum seraya memberikan
isyarat tidak. ia pun berlalu mendatangi
pengendara motor yang lain, melakukan hal serupa. Aku benci pengemis. Terutama
yang masih muda dan kuat. Mengemis itu
adalah pekerjaan pemalas. Hanya meminta, apa susahnya?
“Tiiin..
ttiinn..” klakson mobil belakang membuyarkan lamunanku. Sudah lampu hijau.
Kujalankan motorku.
Kutepikan
motorku di depan warung tenda pinggir jalan. Lapar, belum makan lagi sejak
sarapan.
“Pecel lele
satu, mas!” pesanku pada mas-mas penjaga kasir.
“Oke, mbak.
Joko, pecel lele satu!”
“Sip!”
Eeeengg.. sepertinya suara itu tidak asing. Kulongokkan
kepalaku memandang sosok yang membelakangiku. Sepertinya benar itu dia. Tapi,
masa’ di sini? Menghilang satu semester dari kampus dan dia ternyata ada di sini?
Dia bekerja? Tubuhnya terlihat lebih kurus dari tiga bulan lalu, terakhir aku
melihatnya. Rambutnya bertambah panjang sebahu, dikuncir ke atas.
Deg! Dia
berbalik. Benar! Itu benar-benar dia. Sontak aku berdiri. Pengunjung lain
memandangiku. Mas penjaga kasir juga memandangku heran. Aku pura-pura
membenarkan baju karena malu. Ah, aku lepas kendali. Siapa suruh dia menghilang
selama itu. Apa tadi dia melihatku? Apa dia menyadari kehadiranku? Sesekali
kulihat punggungnya sibuk meracik bumbu dibantu Mas penjaga kasir. Aku tak
berani menyapanya. Takut salah tingkah. Mereka mengobrol. Apa yang mereka
obrolkan? Ah, nggak terdengar. Aku berdalih mengambil kerupuk di meja
yang paling dekat dengan meja kasir, agar bisa mendengar obrolan mereka. Sempat
kulirik Mas Joko. Eh, tunggu. Itu jam dariku! Dia masih memakainya. Aku puas,
walau kutahu dia tak tahu aku pengirimnya.
“Tapi jadinya
kamu tetap menerima hal itu, kan?” tanya Mas penjaga kasir.
“Iya, tidak
terlalu buruk.” Jawab mas Joko.
“Istrimu
diboyong ke Jogja juga?”
“Iya.”
Iya?
Dan akupun
semakin menyadari. Ternyata memang untuk selamanya aku hanya bisa menjadi penggemar.
-0-
0 komentar:
Posting Komentar
Mari berdiskusi! Silahkan, bekomentar dengan sopan! :D