Sabtu, 04 Mei 2013

Malam Itu Hujan Turun

Diposting oleh Camelia di Sabtu, Mei 04, 2013

Aku menuju tempatnya. Diantara sekian banyak malam, kenapa malam ini ? kukencangkan laju Satria-ku. Jalanan Jogja tetap terlihat ramai. Kulirik arloji di tangan kiriku, pukul 21.15

Mendung masih menggantung di langit. Setelah menumpahkan air seharian, masih belum cukup menghabiskan cadangan rupanya. Semoga tidak hujan. Nanti saja jika aku sudah selesai dengannya. Kumohon..

Sekali lagi kusesalkan, kenapa malam ini ? bukankah lebih baik ketika hari cerah ? setidaknya ada bintang. Bukan malam muram begini.

“Kamu bisa datang? Tolong, ya…” seperti biasa, suaranya di telepon selalu terdengar lebih lembut dan rapuh. Dan seperti biasa, aku tak dapat menolaknya. Yang bisa kulakukan adalah secepatnya mengeluarkan Satria-ku dari garasi dan memacunya secepat yang kubisa.

Lima belas menit perjalanan, dan aku sudah berdiri di depan rumah berdinding merah muda. Kulihat dia duduk di teras rumah. Sendiri. Menatap lurus ke depan.
“Aku sudah datang.” 
“Ah, kau.. cepatnya! Duduklah ! mau kubuatkan cokelat panas ?” Dia berdiri.
“ Tak usah, duduklah saja.. aku ke sini bukan untuk minum cokelat.”
“Ah, kau.. masih seperti biasanya.” katanya. Ia kembali duduk. Aku duduk di sampingnya. Mata itu. Selalu penuh mendung. Selalu penuh. Aku tak bisa menatap mata itu terlalu lama.
“Jadi, ada apa ?” Tanyaku. Pertanyaan sama yang berkali-kali kutanyakan padanya dan dia tak pernah menjawabnya. Ah, tidak.. dia menjawabnya. Selalu sama.
“Tak ada apa-apa, cuma ingin kamu bersamaku malam ini.”
Jika sudah begini, mau bagaimana lagi ? aku hanya duduk.
“Ah, komikku belum kau kembalikan, kan? Tadi koleksiku masih kurang tiga. Ayo kembalikan!” dia tersenyum. Tak menatapku. Tentu saja.
“Iya. Udah deh.. buat aku aja. Lagian kamu dah nggak baca lagi, kan?”
“Nggak mau! Aku susah payah ngumpulin, tau!” Jawabnya sambil merengut.
“Iya, deh.. bentar lagi.”
“Hahaha.. kamu itu, selalu aja gitu..” Dia tertawa. Lalu menghela napas.
“Malam ini indah , ya..” katanya.
“iya.”
“Aku selalu suka malam. Apalagi malam setelah hujan. Bau tanah, jalan yang bersih, udara yang sejuk…”
“Tapi dingin.” Potongku.
“Tapi nyaman.. “ Dia tersenyum. Aku tak bisa membantahnya. Diam.
Sialan! Hujan turun lagi.

Wajahnya.. Aku tak bisa menatap wajahnya jika hujan turun. Wajahnya, senyumnya, lesung pipitnya, aku tak bisa melihat itu semua. Dia terdiam. Aku terdiam. Lama.
********************************************************************

Dia gadis berkacamata. Manis. Setiap sabtu selalu membeli komik bersama kekasihnya. Seperti malam ini. Dia mengunjungi toko buku ini. Lagi-lagi membeli komik. Kekasihnya tak tampan menurutku. Masih lebih tampan aku. Ah, dia tersenyum lagi. Tertawa. Manisnya.

“Mas !” Ah, dia memanggilku.
“Komik ini yang terbaru di sebelah mana? Kok di barisan komik baru nggak ada?”
“Oh, sebentar saya carikan di katalog dulu ya, mbak..”
Haha.. mana mungkin aku tak tahu komik itu. Aku hanya mengulur waktu. Dia sepertinya tak acuh, masih ngobrol ceria dengan kekasihnya. Sepertinya kekasihnya lelaki yang baik. Walau benci untuk mengakuinya. Mereka memang benar-benar cocok. Dammit! Seandainya aku ada di posisi itu. Sialnya, walau aku lebih tampan dari dia, berusaha tampil keren tiap shift hari Sabtu, gadis itu tetap tak melirikku. Hah, siapa aku ? Gadis kasmaran itu tak mungkin melihat lelaki lain selain kekasihnya.
“Wah, stoknya habis, mbak. Mungkin beberapa hari lagi baru restock dari cabang lain. Mohon maaf..“ Kataku sambil menatap matanya.
“Yah…” Dia kecewa, muka cemberutnya itu manis sekali. Ouh!
“Ya sudah, makasih ya, mas.. “ Ekspresinya berubah, ramah. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
********************************************************************

“Aku suka malam. sangat suka. malam itu.. indah.. “ Katanya suatu ketika.

“Entah sejak kapan aku suka malam. Malam itu indah dengan segala gemerlap lampunya. Palsu memang, tapi indah. Orang bilang malam itu menyeramkan, apalagi tengah malam. Tapi aku selalu bilang, malam itu indah. Kenapa, ya? Haha.. padahal sebagian besar yang ada pada malam itu dusta. Anak gadis terlihat lebih cantik di malam hari. Warna baju terlihat lebih indah, air mata dan sipu malu tak jelas terlihat. Tapi dari segala kedustaannya, malam menyimpan kepolosan. Kepolosan yang tak bisa kudeskripsikan. Kepolosan dalam lampu jalanan, kepolosan dalam senyum di tepi jalan, kepolosan dari angin yang berhembus, bintang yang berkilau dan kepolosan dalam udara basah.” Dia terus bicara, aku hanya diam.

”Ah, ada lagi yang kusuka dari malam. Suara jangkrik, katak dan hewan malam lain membuatku tak merasa kesepian. Lain dengan siang. Semua terlihat jelas saat siang, sehingga orang menyembunyikan perasaannya. Malam hari, membuat orang terluka berani menangis.. walau hal ini nggak berlaku pada semua orang. Sekali lagi, malam itu cantik.” Dia tersenyum. Melanjutkan bicara. Aku masih diam.

Dia ambil helaan napas, “Aku mencintai malam.”

Kalau sudah begini aku bingung harus merespon apa? Jadi aku tetap diam.
Dia diam.
“Tak terasa kita sudah sedekat ini, ya..” Aku memecah keheningan.
“Iya, kau sahabat terbaikku.” Dia tersenyum, menatapku. Entah mengapa hatiku sakit sekali.

Hujan turun.
Sore yang muram.
Tapi tentu tidak untuknya. Lihat, dia tersenyum menatap hujan. Dia beranjak. Aku hanya menatap tubuhnya berjalan mendekati hujan. Sedikit demi sedikit bajunya basah. Sore ini jalanan depan rumahnya cukup lengang. Ia berdiri di trotoar, menghadap langit. Matanya terpejam. Dia masih tersenyum. Senyum yang selalu sama. Kamu belum bisa tersenyum?
********************************************************************

Aku masih ingat dengan jelas. Kejadian itu terjadi di depan toko tempatku bekerja. Aku tak mungkin bisa lupa. Wajah kekasihmu, wajahmu, dan darah yang berceceran. Dari semua kenangan tentang hari itu. Wajahmu yang paling kuingat. Datar, tanpa ekspresi. Kenapa kau tak menangis? Aku tahu betapa sakitnya kehilangan orang yang kau cintai. Maaf aku tak bisa memelukmu. Aku beku. Maaf tak bisa mengusap air matamu. Karena kau tak menangis.

Kau masih diam, dengan wajah beku kau minum air mineral yang diberikan padamu. Kau duduk di tepi jalan. Memandangi kekasihmu yang kubawa ke ambulans. Kekasihmu itu pria yang baik, ya.. dia hendak melamarmu malam itu. Benar, aku menyentuh kotak cincin di saku celananya.
********************************************************************

Sore ini, aku ke tempatmu lagi.

Kau di rumah?

Pintumu rumahmu terbuka. Ah.. aku masuk saja. Menuju kamarmu. Aku akan mengagetkanmu dengan kedatanganku. Sudah terbayang bagaimana kamu kaget dan kita tertawa bersama.

Hah?!

Astaga!
“Apa yang kau lakukan?!” Teriakku.
Dia kaget sejenak. “Ah, kau.. kebetulan sekali. Aku bingung setelah ini bagaimana. Hmm.. Sepertinya mulai sekarang aku akan sering merepotkanmu.” Dia tersenyum.

Apa-apaan itu? Wajah itu, gunting itu, mata itu! Mengapa?! Mengapa kau tersenyum? Mengapa kau butakan dirimu?

Tak bisa. Aku tak bisa menahannya. Sontak aku memeluknya.

“Hei, kenapa kau menangis ?” Dia bertanya. Bodoh! Mana bisa kujawab? jika kau tak bisa menangis, biar aku yang menangis untukmu. Aku memeluknya dengan erat.
 ********************************************************************

“Tadi, kau bilang apa?” Tanyanya.
“Aku ingin melamarmu.” Kataku “Dengan cincin ini.”
“Tadinya aku mau bilang begitu..” Sambungku. “Tapi ini bukan milikku. Aku menemukannya di saku kekasihmu.” Aku menyodorkan kotak cincin merah muda.
Dia diam.
“Ambillah.. “ kuletakkan kotak itu dalam genggamannya.
“Tapi aku serius ingin jadi kekasihmu.”
Dia diam.
Aku menunggu kata yg akan diucapkannya. Sungguh menyiksa. Terasa sewindu.
“Baiklah, tapi aku tak bisa mencintaimu.”

Aku terdiam.
********************************************************************

Ternyata tak lama kemudian hujan reda.
“Kau masih belum bisa menangis?” tanyaku.
“Tentu saja, bagaimana aku bisa menangis, jika aku sudah tak punya mata ?”
“Kau juga gila sampai membutakan matamu sendiri.” Aku berujar. Pembicaraan seperti ini, sempat membuatku ngeri. Kini, rasanya sudah hambar.
“Tak apa, aku tak ingin melihat bayangan dia di setiap benda yang kulihat. Aku tak ingin terus menerus melihat kebohonganmu demi melindungi perasaanku. Dan yang jelas, aku tak perlu melihat hujan.” Dia berujar.
“Mengapa hidupmu begitu sulit?”
“Tidak sulit, aku hanya sudah tak bisa menangis. Aku mencintai malam, dia mencintai hujan, dan kau mencintaiku. Aku sedih. Aku sudah tak bisa menunjukkannya. Jadi, aku memilih tak usah melihat kesedihan. Cukup kurasakan saja. Tanpa tangisan, kesedihan dan senyuman sudah menjadi karib. Jadi kamu tak perlu khawatir.” Sekali lagi dia berujar yang tak kumengerti kecuali bagian aku mencintainya.

“Yang sulit itu hidupmu, kau menangis untukku, mencintaiku, namun aku tak pernah bisa menghapus bayang-banyang dia dariku. Kenapa kau tetap menunggu di sampingku?” Dia bertanya padaku.

“Karena kau membutuhkanku.” Jawabku.

“Haha… ngomong-ngomong, kamu sudah jarang menangis ya?”

Benar. Aku sudah jarang menangis. Ah, buat apa menangis? Kesedihan ini sudah terlampau putih, hampir transparan. “Kau masih mencintai malam, dia masih mencintai hujan, aku masih mencintaimu, dan kamu tetap buta. Semuanya tak akan berubah dengan tangisan. Yang jelas kini aku bersamamu. Yang jelas, kini aku kekasihmu. Yang penting aku datang saat kau butuh. Dan kau selalu di sini, itu sudah cukup.”

“Ya..” Timpalmu, “Nanti, jika aku sudah bisa menangis, kau mau menemaniku menangis?” Tanyanya.
“Ya.” Tak ada jawaban lain yang ada di otakku.
“Walau tanpa air mata?”
“Walau tanpa air mata.”
“Baiklah, Aku yakin kita bahagia. Ah, semoga pagi nanti matahari tidak terlalu garang..” Dia tersenyum.

Semoga, ketika pagi datang.. aku sudah selangkah menuju tempatmu. Merasakan apa yang kau rasa. Menangis bersama, walau tanpa air mata.
Dan hujanpun kembali turun.

Yogyakarta, 28 Februari 2013

0 komentar:

Posting Komentar

Mari berdiskusi! Silahkan, bekomentar dengan sopan! :D

 

Bunga Rumput Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei